|

Sertifikat Laut, Modus Kecurangan dari Tangerang hingga Makassar

Kasus pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang membuka tabir praktik penerbitan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dan sertifikat hak milik (SHM) di wilayah pesisir lain, mulai dari Subang hingga Makassar. Fenomena ini memicu pertanyaan besar: bagaimana bisa wilayah laut memiliki sertifikat tanah?

Pakar hukum agraria dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yance Arizona, menegaskan bahwa secara aturan, laut tidak bisa menjadi subjek sertifikat tanah. “SHGB dan SHM di laut tidak diperbolehkan, karena laut bukan tanah yang bisa disertifikasi,” kata Yance kepada BBC News Indonesia.Senada dengan itu, pakar hukum lingkungan UGM, I Gusti Agung Made Wardana, menjelaskan bahwa pesisir merupakan kawasan milik umum yang tidak boleh diprivatisasi.

Salah satu modus yang digunakan dalam penerbitan sertifikat tanah di laut adalah memanfaatkan fenomena abrasi. Dengan alasan bahwa suatu area dulunya adalah daratan yang kemudian berubah menjadi laut, pihak-pihak tertentu mengurus sertifikat tanah dengan memalsukan dokumen seperti girik dan letter C.

Menurut Sawung dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), pemalsuan dokumen tersebut menjadi dasar bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk menerbitkan sertifikat tanah. Hal ini terungkap dalam penyelidikan polisi terkait dugaan pemalsuan girik dalam pengajuan SHGB dan SHM di kawasan pagar laut Tangerang.

Tak hanya itu, fenomena ini juga berkaitan dengan aturan tentang “tanah musnah” yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021. Aturan ini membuka celah bagi reklamasi tanah yang diklaim hilang akibat abrasi, yang pada akhirnya memfasilitasi kepentingan investasi.

Pemerintah menemukan 263 sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dan 17 sertifikat hak milik (SHM) di kawasan pagar laut Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, dengan total luas lebih dari 410 hektare. Dari jumlah tersebut: 234 sertifikat dimiliki PT Intan Agung Makmur dan terdapat 20 sertifikat atas nama PT Cahaya Inti Sentosa

Pagar laut di perairan Tangerang membentang sepanjang 30,16 kilometer. Investigasi lebih lanjut mengungkap bahwa dua perusahaan tersebut terhubung dengan PT Agung Sedayu, konglomerasi yang dikendalikan oleh keluarga Sugianto Kusuma alias Aguan. Agung Sedayu Group, bersama Salim Group, juga tengah mengembangkan kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, yang berdekatan dengan pagar laut ini.

Menariknya, kuasa hukum Agung Sedayu Group mengklaim bahwa lahan yang mereka miliki dulunya adalah daratan yang berubah menjadi laut akibat abrasi.

Gelombang Kasus Serupa: Dari Makassar hingga Sidoarjo

Setelah kehebohan kasus di Tangerang, temuan serupa bermunculan di berbagai daerah:

1. Laut Makassar

BPN Makassar mencatat bahwa lahan seluas 23 hektare di laut Makassar memiliki sertifikat SHGB yang diterbitkan pada 2015. Namun, identitas pemiliknya dirahasiakan dengan alasan informasi terbatas.

2. Pulau C, Kamal Muara, dan Bekasi

Sejumlah wilayah lain juga diduga memiliki pagar laut, termasuk Pulau C reklamasi Jakarta, Kamal Muara, dan Bekasi. Pemerintah Jakarta Utara bahkan mengaku tidak mengetahui siapa pemilik pagar laut di wilayah mereka.

Di Bekasi, pagar laut diklaim sebagai proyek pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk pembangunan pelabuhan perikanan seluas 50 hektare. Proyek ini melibatkan PT Tunas Ruang Pelabuhan Nusantara dan PT Mega Agung Nusantara, tetapi telah disegel oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) karena tidak memiliki izin pemanfaatan ruang laut.

3. Laut Sumenep

Sebanyak 20 hektare di laut Desa Gersik Putih, Sumenep, memiliki SHM yang diterbitkan pada 2023 dengan rencana pembangunan tambak garam. Kepala Dinas Perikanan Sumenep mengklaim bahwa status tanah bisa berubah tergantung pasang surut air laut.

4. Laut Sidoarjo

Di Laut Sidoarjo, ditemukan 656 hektare lahan yang memiliki SHGB sejak 1996. Sertifikat ini dimiliki oleh PT Surya Inti Permata dan PT Semeru Cemerlang, dengan masa berlaku hingga 2026.

Kasus-kasus ini mengungkap bagaimana celah regulasi dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis. Pihak berwenang kini menghadapi tantangan besar dalam mengoreksi kebijakan terkait kepemilikan tanah di laut serta menindak praktik-praktik ilegal yang mengarah pada privatisasi wilayah pesisir. Akankah pemerintah mampu menertibkan kekacauan ini? Kita tunggu langkah selanjutnya.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *