| |

Polemik Sertifikat Laut Makassar, Pemerintah Diminta Transparan dan Tegas

Kontroversi terkait sertifikasi lahan di wilayah perairan semakin mendapat sorotan publik setelah muncul dugaan bahwa penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di beberapa kawasan pesisir Kota Makassar tidak sejalan dengan regulasi tata ruang dan pemanfaatan laut.

Berbagai pihak pun mendesak pemerintah untuk segera bertindak tegas guna memastikan aturan yang ada ditegakkan dengan benar.Badan Pertanahan Nasional (BPN) Makassar memilih bungkam soal kepemilikan lahan seluas 23 hektare di atas laut Makassar, Sulawesi Selatan. Meski lahan tersebut telah memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) sejak 2015, BPN enggan mengungkap pemiliknya dengan alasan informasi terbatas.

“Kami bisa memastikan bahwa di area ini memang ada sertifikat. Namun, soal kapan terbitnya dan siapa pemiliknya, itu informasi terbatas karena menyangkut hak perorangan,” ujar Kasi Sengketa BPN Makassar, Andrey Saputra, Jumat (24/1).

Menurutnya, setelah dilakukan pemeriksaan, SHGB tersebut memang sah secara administrasi. Namun, ketika ditanya mengenai jumlah sertifikat lahan di atas laut yang telah diterbitkan sejak 2015, Andrey mengaku tidak mengetahui secara pasti. “Saya tidak bisa menyebutkan jumlahnya, karena memang tidak hafal,” katanya.

Andrey menjelaskan bahwa sertifikat hanya dapat diterbitkan jika sudah ada alas hak dari dinas terkait. Setelah persyaratan terpenuhi, barulah BPN melakukan pengukuran dan menerbitkan sertifikat. “Alas haknya ada di dinas terkait. Kami hanya mengeluarkan sertifikat jika semua persyaratan sudah lengkap,” tegasnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Tata Ruang Makassar, Fahyuddin, menyebut bahwa reklamasi merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. “Untuk urusan lahan reklamasi, itu ranahnya provinsi,” ujarnya.

WALHI Desak Pemerintah Cabut SHGB

Di sisi lain, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan menyoroti penerbitan SHGB di atas laut sebagai tindakan yang menyalahi aturan dan lebih menguntungkan pihak swasta. Direktur WALHI Sulsel, Muhammad Al Amin, menegaskan bahwa praktik penguasaan pesisir oleh perusahaan besar di Makassar telah berlangsung lama tanpa tindakan tegas dari pemerintah.

“Sudah bukan rahasia lagi kalau kawasan pesisir di barat Makassar dikuasai oleh korporasi besar. Namun, pemerintah seolah menutup mata,” kata Amin.

Kasus ini mencuat setelah adanya instruksi presiden untuk menertibkan aset negara yang dikuasai swasta. WALHI pun mendesak BPN agar lebih transparan dalam mengungkap pemilik SHGB di lahan reklamasi Tanjung Bunga.

Menurut Ketua Forum Komunitas Hijau (FKH) Makassar, Ahmad Yusran, penerbitan SHGB di atas laut melanggar aturan karena dilakukan sebelum adanya Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sulawesi Selatan pada 2022. Fakta dari citra satelit pun menunjukkan bahwa lahan tersebut dulunya merupakan perairan, yang semakin memperkuat dugaan pelanggaran.

Pemprov Sulsel Akan Evaluasi Izin

Menanggapi polemik ini, Penjabat (Pj) Gubernur Sulawesi Selatan, Fadjry Djufry, menyatakan bahwa pemerintah provinsi akan mengevaluasi seluruh izin yang telah diterbitkan di kawasan reklamasi. Ia memastikan bahwa jika ditemukan ketidaksesuaian dengan aturan, maka akan ada tindakan tegas.

“Saya belum menerima laporan detail, apalagi baru ada pergantian di BPN. Tapi, pemprov pasti akan menindaklanjuti masalah ini,” ujarnya.

Fadjry juga menegaskan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak membenarkan adanya kaveling laut yang dapat menghambat aktivitas nelayan. Jika ditemukan pelanggaran dalam penerbitan SHGB, maka izin tersebut bisa saja dicabut. “Kalau tidak sesuai aturan, ya pasti akan kami bongkar,” tegasnya.

Dengan berbagai pihak yang terus menekan pemerintah untuk bertindak, kini bola panas berada di tangan Pemprov Sulsel dan BPN. Apakah izin SHGB di atas laut ini akan dicabut, atau justru dibiarkan terus berjalan?

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *