Lawan, Kejahatan Korporasi Negara (State Corporate Crime)
Dalam komunitas GWA Sekapur Sirih, tokoh intelijen Soeripto mengungkapkan kekhawatirannya terhadap fenomena State Corporate Crime (SCC) yang semakin mengendalikan kekuasaan di negeri ini. Ia turut berkomentar mengenai kezaliman proyek PIK 2 dan mengajak seluruh rakyat untuk menyatakan ‘Perang Terhadap SCC’.
“Waspadalah terhadap State Corporate Crime, persekongkolan antara pengusaha super jahat dengan Pejabat Publik( Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif) !!!! [Soeripto, GWA Sekapur Sirih, 11/11]
Meskipun belum ada definisi baku mengenai SCC, secara umum istilah ini mengacu pada kejahatan korporasi yang menggunakan kekuasaan negara demi kepentingan bisnis. Tujuan utama korporasi dalam menjalankan usahanya adalah memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya sekecil-kecilnya. Sayangnya, negara sering kali dijadikan alat untuk mewujudkan dua kepentingan utama korporasi, yaitu menyediakan fasilitas bisnis sekaligus bertindak sebagai perantara dalam pemasaran produk mereka.
Fenomena ini terlihat jelas dalam penetapan Proyek Strategis Nasional (PSN) pada PIK 2, di mana negara di era pemerintahan Jokowi dijadikan alat oleh korporasi properti untuk memperoleh lahan dengan harga murah dan mendapatkan berbagai fasilitas publik yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Dengan status PSN, pengembang PIK 2 dapat menekan biaya produksi, terutama dalam pengadaan lahan. Sebagai contoh, lahan yang seharusnya bernilai Rp500.000 per meter dapat ditekan menjadi Rp50.000 per meter berkat penggunaan Undang-Undang No. 2/2012. Selain itu, negara juga turut memasarkan proyek ini dengan menghadirkan pejabat dalam promosi kawasan tersebut.
Keberadaan SCC di Indonesia bukanlah fenomena baru. Konsep kejahatan negara-korporasi pertama kali diperkenalkan oleh Kramer dan Michalowski pada 1990 dan berkembang lebih lanjut dengan studi Lasslett pada 2010, yang membedakan antara kejahatan yang diinisiasi oleh korporasi dan kejahatan yang difasilitasi oleh negara. Contohnya adalah korupsi Freeport Indonesia, skandal BLBI, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang melibatkan perusahaan sawit. Hubungan simbiotis antara negara dan korporasi sering kali memunculkan regulasi yang menguntungkan pihak tertentu, sementara rakyat kecil harus menanggung dampaknya.
Faktor utama yang memperparah kejahatan negara-korporasi di Indonesia adalah lemahnya penegakan hukum, budaya korupsi yang mengakar, serta kepentingan ekonomi yang lebih mengutamakan investasi dibanding kesejahteraan masyarakat. Dampak dari fenomena ini sangat luas, mulai dari kerusakan lingkungan, ketidakadilan sosial, hingga hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Sebagai langkah solutif, diperlukan reformasi hukum yang lebih ketat, transparansi dalam pengambilan keputusan, serta penguatan masyarakat sipil agar dapat mengawasi praktik-praktik korupsi. Pemerintah harus lebih tegas dalam menindak kejahatan negara-korporasi agar demokrasi tidak dikooptasi oleh oligarki yang hanya menguntungkan segelintir elite.
Mengingat urgensi masalah ini, rakyat harus bersatu dan menggaungkan perlawanan terhadap SCC. Gerakan ‘War On State Corporate Crime’ menjadi seruan yang perlu diperjuangkan demi menyelamatkan kedaulatan negara dan melindungi hak-hak rakyat dari kepentingan korporasi yang rakus. Jika dibiarkan, rakyat kecil akan terus menjadi korban, sementara oligarki semakin memperkaya diri mereka dengan memanfaatkan celah dalam sistem pemerintahan.