|

Ironi Raja Ampat, Selamatkan dengan Syariat

Oleh: Aidah Ambo Ala Husain

Hari Laut Sedunia 2025

Setiap tanggal 8 Juni, dunia memperingati Hari Laut Sedunia. Untuk tahun 2025 ini, tema yang diangkat adalah “Wonder: Sustaining What Sustains Us” (Keajaiban: Menjaga Apa yang Menopang Kita), yang mengajak kita untuk merenungkan keindahan dan vitalitas lautan sehingga meningkatkan kesadaran akan pentingnya lautan bagi kehidupan di bumi. Hari Laut Sedunia (World Oceans Day) pertama kali dicanangkan pada tanggal 8 Juni 1992 di Kanada pada saat diselenggarakan KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil. Namun, baru pada tahun 2008, Majelis Umum PBB secara resmi menetapkannya sebagai peringatan internasional tahunan setiap tanggal 8 Juni.

Untuk tahun ini, Hari Laut Sedunia diperingati dengan pembukaan Konferensi Laut PBB di Nice, Prancis, yang berlangsung hingga 13 Juni 2025. Konferensi ini merupakan momen bersejarah yang menyatukan para pemimpin dunia, ilmuwan, dan aktivis untuk membahas langkah-langkah konkret dalam melindungi lautan. Salah satu fokus utama adalah ratifikasi Perjanjian Laut Lepas 2023, yang bertujuan untuk menciptakan kawasan konservasi laut di perairan internasional.

Sebagai sebuah negara maritim dengan luas laut lebih 70% dari daratannya, Indonesia memiliki begitu besar potensi sumberdaya alam yang melimpah dan eksotis. Baik hutan tropis di darat maupun hutan terumbu karang di lautan Indonesia, berperan dalam menyumbang suplai oksigen secara global, sehingga konservasi sumberdaya alamnya menjadi perhatian penting bagi dunia.

Mahkota Keanekaragaman Hayati Laut Dunia

Namun demikian, ironi pahit terjadi di jantung keanekaragaman hayati laut Indonesia pada beberapa wilayah perairan yang penting, terutama yang sementara hangat diangkat yaitu pertambangan di Raja Ampat. Di balik segala kekayaan yang tersimpan, Raja Ampat menghadapi tantangan besar dalam dekade terakhir berupa tekanan eksploitasi sumber daya, dengan risiko pembangunan yang tidak berkelanjutan. Surga bawah laut ini terancam oleh aktivitas tambang nikel, bertolak belakang dengan semangat peringatan global.

Terletak di provinsi Papua Barat Daya, Raja Ampat bukan hanya menjadi kebanggaan Indonesia, tetapi juga dianggap sebagai pusat megadiversity laut global. Gugusan kepulauan ini terdiri dari lebih dari 1.500 pulau besar dan kecil, dengan empat pulau utama—Waigeo, Misool, Salawati, dan Batanta—yang menjadi poros utama kawasan.

Raja Ampat menyimpan kekayaan luar biasa: lebih dari 1.500 spesies ikan dan 600 spesies karang, menjadikannya ekosistem terumbu karang terkaya di dunia. Dengan luas sekitar 46.000 km², perairan Raja Ampat mencakup sekitar 75% dari semua spesies karang dunia. Inilah yang membuatnya dikenal sebagai “epicentrum segitiga karang” (Coral Triangle), wilayah yang menghubungkan Indonesia, Filipina, dan Papua Nugini, yang dikenal sebagai pusat keanekaragaman laut global.

Tak hanya ikan dan karang, Raja Ampat juga menjadi habitat penting bagi spesies laut yang terancam punah. Penyu sisik (Eretmochelys imbricata)—yang kini sangat rentan terhadap kepunahan—masih bertelur di beberapa pantai di kawasan ini. Selain itu, perairannya yang jernih menjadi jalur migrasi dan tempat tinggal bagi pari manta (Manta birostris) yang ikonik, sering kali terlihat melayang anggun di atas karang.

Lebih dari sekadar keajaiban alam, Raja Ampat juga merupakan tulang punggung ekonomi lokal. Wisata bahari seperti menyelam, snorkeling, dan ekowisata menjadi penghidupan utama masyarakat setempat. Ekosistem laut yang sehat menopang kegiatan perikanan berkelanjutan, serta menarik ribuan wisatawan domestik dan mancanegara setiap tahunnya. Di tahun-tahun normal sebelum pandemi, Raja Ampat mampu menarik lebih dari 20.000 wisatawan per tahun, menyumbang devisa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat kampung-kampung pesisir.

Raja Ampat: Surga yang Perlahan Sekarat

Di balik kemegahan alam Raja Ampat yang mendunia, tersimpan ancaman nyata yang mulai mencabik keindahan dan keseimbangan ekologisnya: ekspansi tambang nikel, khususnya di Pulau Gag dan kawasan sekitarnya. Wilayah yang semestinya dijaga sebagai benteng terakhir keanekaragaman hayati laut kini justru menjadi sasaran eksploitasi atas nama investasi dan pembangunan ekonomi jangka pendek.

Salah satu dampak paling nyata dari aktivitas tambang ini adalah deforestasi massal. Laporan Greenpeace mencatat bahwa lebih dari 500 hektar hutan alami di Pulau Gag telah dibabat demi membuka akses dan areal pertambangan. Padahal, hutan tersebut bukan hanya menyimpan karbon penting sebagai penyangga iklim, tetapi juga menjadi pelindung alami dari erosi dan limpasan sedimen ke laut.

Kerusakan tidak berhenti di daratan. Sedimen tambang yang kaya logam berat terbawa hujan menuju laut, menyelimuti terumbu karang dengan lapisan lumpur pekat. Endapan ini menghalangi sinar matahari yang sangat vital bagi proses fotosintesis zooxanthella, alga mikroskopis yang hidup dalam jaringan karang. Tanpa fotosintesis, karang perlahan memutih dan mati, membawa serta kejatuhan seluruh ekosistem yang bergantung padanya—mulai dari ikan, moluska, hingga predator puncak seperti hiu dan pari.

Tak kalah mengkhawatirkan adalah pencemaran logam berat, terutama kandungan nikel, mangan, dan senyawa kimia lainnya yang terkandung dalam limbah tambang. Bahan-bahan ini tidak larut begitu saja di laut. Sebaliknya, mereka mengendap di dasar laut, diserap oleh organisme kecil, lalu naik dalam rantai makanan hingga ke ikan konsumsi. Dalam jangka panjang, ini bisa menjadi bom waktu kesehatan bagi manusia—munculnya gangguan saraf, ginjal, atau kanker akibat akumulasi logam berat dari hasil laut yang tercemar.

Dampak Sosial: Mata Pencaharian yang Tergerus

Suku Kawei, Betew, dan Maya merupakan tiga komunitas masyarakat adat yang utama di Raja Ampat, telah mewarisi dan menjaga wilayah ini selama ratusan tahun. Mereka menjadi garda terdepan penjaga laut dan hutan, karena bagi mereka, alam bukan sekadar sumber daya, tetapi bagian dari identitas dan kehidupan spiritual.

Namun, ekspansi tambang nikel di Pulau Gag dan sekitarnya telah menciptakan luka mendalam. Air laut yang dulu jernih kini keruh, membawa lumpur dan partikel sedimen dari pertambangan yang merusak ekosistem pesisir. Dampaknya langsung terasa oleh para nelayan tradisional, yang mengandalkan laut sebagai sumber nafkah. Hasil tangkapan menurun drastis. Ikan menjauh dari wilayah tercemar, dan jaring-jaring kosong menjadi pemandangan biasa. Ketahanan pangan dan pendapatan keluarga pun terancam.

Di sisi lain, pariwisata bahari—sumber penghidupan utama lainnya di Raja Ampat—juga terguncang. Wisatawan yang datang untuk menikmati panorama bawah laut kecewa saat melihat kerusakan terumbu karang dan perairan yang tak lagi bening. Usaha penginapan lokal, penyedia jasa penyelaman, dan pemandu wisata tradisional kehilangan pelanggan. Jika tren ini berlanjut, industri pariwisata berkelanjutan yang selama ini menjadi model ekonomi masa depan Raja Ampat bisa runtuh.

Kondisi ini mendorong terbentuknya perlawanan kolektif dari masyarakat. Koalisi pelaku wisata yang terdiri dari Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI), Perkumpulan Pendamping Raja Ampat (PADRA), Asosiasi Raja Ampat (ASRA), dan PERJAMPAT bersatu menyuarakan penolakan keras terhadap ekspansi tambang. Bersama masyarakat adat, mereka menyampaikan bahwa tambang bukan solusi—melainkan ancaman bagi tanah leluhur, lingkungan yang sakral, dan tatanan ekonomi berkelanjutan yang telah mereka bangun secara mandiri.

Bagi masyarakat adat, tanah dan laut bukan untuk dijual atau dirusak. Mereka melihat alam sebagai warisan yang harus dijaga, bukan dikorbankan demi proyek jangka pendek. Mereka menuntut agar hak-hak mereka sebagai pemilik ulayat dihormati, dan agar kebijakan pembangunan menghormati kearifan lokal serta prinsip keberlanjutan.

Ironi Global: Konferensi Dunia dan Kenyataan Lokal

Pada saat para pemimpin dunia, ilmuwan, dan aktivis lingkungan berkumpul di Konferensi Laut PBB di Nice, Prancis (8–13 Juni 2025) untuk membahas perlindungan laut secara global, termasuk mendorong ratifikasi Perjanjian Laut Lepas 2023 (High Seas Treaty), sebuah ironi menyakitkan justru terjadi di ujung timur Indonesia. Di Raja Ampat—wilayah yang sering disebut sebagai “Amazon bawah laut”—aktivitas tambang nikel di Pulau Gag dan sekitarnya terus berlangsung, menyisakan jejak kerusakan ekologis yang nyata.

Raja Ampat adalah kawasan strategis dan memiliki status perlindungan hukum nasional, namun tambang di pulau-pulau kecil seperti Gag justru melanggar terang-terangan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, khususnya pasal yang melarang kegiatan ekstraktif seperti tambang di pulau kecil dengan luas kurang dari 2.000 km², kecuali untuk kepentingan nasional yang strategis—yang jelas tak bisa dibenarkan hanya demi ekspor nikel.

Lemahnya penegakan hukum membuat eksploitasi terus berlanjut. Tak ada transparansi, tak ada keterlibatan masyarakat adat, dan yang lebih mengkhawatirkan—tak ada penindakan berarti terhadap perusahaan tambang yang melanggar. Padahal, dampaknya tidak bisa diabaikan: kerusakan ekosistem laut, hilangnya mata pencaharian masyarakat pesisir, dan rusaknya fondasi ekowisata berkelanjutan.

Kontras ini mengungkap kesenjangan antara wacana global dan realitas lokal. Di ruang konferensi, negara-negara bersepakat menurunkan polusi plastik, memperluas kawasan konservasi laut, dan melindungi biodiversitas. Namun di tempat seperti Raja Ampat—ikon keanekaragaman hayati laut dunia—perlindungan itu nyaris tak berlaku. Hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir justru dilumpuhkan oleh kelambanan, kompromi politik, dan ketamakan. Pertanyaannya: bagaimana dunia bisa mencapai target ambisius untuk melindungi 30% laut dunia pada 2030, jika kawasan sekelas Raja Ampat saja tak mampu dijaga?

Perspektif Syariat: Amanah dan Larangan Merusak

Syariat Islam tidak hanya berbicara soal ibadah ritual, tapi juga mencakup pengelolaan sumberdaya, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Raja Ampat bukan sekadar keajaiban ekologi, tapi juga manifestasi dari nikmat Allah SWT yang agung. Laut, ikan, karang, dan hutan-hutan yang menaunginya adalah anugerah yang Allah titipkan kepada umat manusia untuk dijaga, bukan dirusak. Dalam perspektif Islam, laut adalah amanah, bukan milik segelintir pihak untuk dieksploitasi demi keuntungan sesaat. Beberapa syariat dan nilai dalam Islam perihal tanggung jawab terhadap kelangsungan bumi antara lain:

1. Larangan Merusak (i‘laf):

Al-Qur’an telah memberi peringatan yang sangat jelas:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)

Kerusakan yang terjadi di Raja Ampat akibat ekspansi tambang nikel—mulai dari pencemaran laut, deforestasi di Pulau Gag, hingga ancaman terhadap ekosistem penting—adalah contoh nyata dari kerusakan yang dilarang dalam ayat ini. Ini bukan hanya pelanggaran terhadap hukum negara, tapi juga pelanggaran terhadap syariat Allah.

2. Kepemilikan Bersama (milkiyyah ‘ammah):

Rasulullah SAW bersabda:

“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud & Ibnu Majah)

Dalam konteks ini, laut dan segala sumber daya yang dikandungnya—dari ikan hingga cadangan mineral—bukanlah milik individu atau korporasi. Mereka adalah milik kolektif umat. Menyerahkan izin tambang kepada pihak yang merusak, tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap masyarakat adat dan keberlanjutan ekosistem, adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip milkiyyah ‘ammah. Ini adalah bentuk perampasan hak masyarakat luas.

3. Amanah Pemerintah (ar-aa‘in):

Dalam Islam, pemimpin bukanlah pemilik negeri, melainkan pengelola amanah. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya…” (QS. An-Nisa: 58)

Dan Rasulullah SAW bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Maka pemerintah bukanlah sebagai makelar sumberdaya alam, dimana memberi izin pada perusahaan tambang yang terbukti merusak lingkungan berarti abai terhadap amanah ilahi. Alih-alih menjaga maslahat umat, kebijakan semacam ini justru merugikan generasi sekarang dan mendatang. Kerusakan di Raja Ampat adalah ujian bagi keseriusan kita mengamalkan nilai-nilai ini. Umat Islam harus bersuara lantang: bahwa laut bukan untuk dirusak, melainkan untuk dijaga. Dan pemerintah harus kembali pada peran sejatinya: sebagai penjaga amanah, bukan perantara kepentingan korporasi.

Hari Laut Sedunia 2025: Momentum Aksi Nyata

Hari Laut Sedunia 2025 bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan panggilan mendesak untuk bertindak. Kasus kerusakan lingkungan di Raja Ampat menjadi cermin nyata kegagalan dalam menjaga ekosistem laut yang vital. Sebagai bagian dari segitiga karang, kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, namun kini terancam oleh aktivitas manusia yang tidak berkelanjutan. Beberapa tindakan yang urgen untuk dilakukan adalah:

  1. Penegakan hukum yang tegas; Pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menegakkan hukum secara tegas terhadap pelanggaran yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil harus dijadikan landasan untuk menghentikan aktivitas yang merusak lingkungan, seperti pertambangan ilegal dan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan.
  2. Prioritas pada ekonomi biru berkelanjutan; Indonesia juga harus mengutamakan pengembangan ekonomi biru yang berkelanjutan, seperti ekowisata dan perikanan yang bertanggung jawab. Pengembangan kawasan konservasi laut dan pelatihan nelayan dalam praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus melindungi ekosistem laut.
  3. Pemberdayaan masyarakat adat; mereka memiliki pengetahuan tradisional dalam menjaga lingkungan laut. Pemerintah perlu menghormati dan memberdayakan peran mereka sebagai penjaga tradisional lingkungan. Melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan sumberdaya alam akan memastikan keberlanjutan dan keadilan dalam pengelolaan lingkungan.
  4. Sinergi global dalam perlindungan laut; sebagai bagian dari segitiga karang, Indonesia memiliki peran penting dalam upaya perlindungan laut global. Enam negara di kawasan ini—Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor-Leste—telah berkomitmen untuk melindungi 30% wilayah laut mereka pada tahun 2030 melalui inisiatif Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF).

Hari Laut Sedunia 2025 adalah momentum untuk merefleksikan dan mengambil tindakan nyata dalam melindungi ekosistem laut. Dengan penegakan hukum yang tegas, pengembangan ekonomi biru berkelanjutan, pemberdayaan masyarakat adat, dan sinergi global, kita dapat memastikan kelestarian laut untuk kesejahteraan bersama.

Menjaga the Wonder yang Menopang Hidup Kita

Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata atau wilayah kaya sumber daya—ia adalah simbol dari keajaiban laut yang menopang kehidupan jutaan makhluk, termasuk manusia. Keindahannya adalah anugerah, namun juga peringatan bahwa keindahan bisa hilang bila tidak dijaga.

Tema Hari Laut Sedunia 2025, “Wonder: Sustaining What Sustains Us“, menjadi pengingat kuat bahwa laut adalah sumber penghidupan, keseimbangan iklim, pangan, budaya, dan spiritualitas. Laut bukan milik segelintir korporasi atau elite penguasa, tapi milik kita bersama—dan lebih dari itu, titipan dari Sang Pencipta.

Syariat Islam menegaskan bahwa segala bentuk perusakan atas alam adalah kezaliman. Ketika Rasulullah menyebut laut sebagai bagian dari kepemilikan bersama umat, itu adalah seruan untuk menjaga, bukan menguras. Pemerintah sebagai pengelola bukan pemilik, wajib menegakkan amanah, bukan menjualnya atas nama investasi. Melindungi Raja Ampat berarti menyelamatkan ekosistem global, membela hak-hak masyarakat adat, menjaga generasi mendatang dari kehancuran ekologis, dan menjalankan perintah Allah sebagai khalifah di bumi.

Saatnya bertindak nyata—bukan sekadar retorika. Sebelum keajaiban itu hilang, sebelum laut berhenti menopang kita. ***

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *