Setelah Laut, Menteri ATR/BPN Temukan Hutan Bersertifikat

Kasus penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) di dalam kawasan hutan kembali mencuat dan menjadi sorotan publik. Temuan ini menegaskan adanya permasalahan serius dalam tata kelola lahan di Indonesia. Sejumlah pihak pun angkat bicara, mengkritisi sistem pertanahan yang dinilai masih memiliki banyak celah.

Politisi Partai Golkar, Andi Sinulingga, menjadi salah satu yang bersuara lantang. Ia menyoroti betapa buruknya tata kelola lahan dan hutan di Indonesia, hingga memungkinkan sertifikat hak milik maupun hak guna usaha diterbitkan di atas wilayah yang seharusnya dilindungi sebagai kawasan hutan.

“Negeri Pancasila sudah sebegitu rusaknya,” tulis Andi dalam unggahan di akun X pribadinya pada Jumat (31/1/2025). Kritik tajam ini mencerminkan keresahan masyarakat terhadap praktik pengelolaan lahan yang tidak transparan dan berpotensi merugikan lingkungan.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengakui adanya kasus penerbitan SHM dan SHGU di kawasan hutan. Hal ini disampaikannya saat membahas kelanjutan program Integrated Land Administration and Spatial Planning (ILASP) bersama Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (30/1/2025).

Menurut Nusron, permasalahan ini timbul karena adanya ketidaksesuaian data antara kementeriannya dengan Kementerian Kehutanan. Ia menjelaskan, dalam beberapa kasus, tanah yang telah disertifikatkan belakangan diklaim masuk dalam kawasan hutan, sementara dalam kasus lain, peta awal menunjukkan kawasan hutan, tetapi petugas tetap menerbitkan sertifikat di atasnya.

“Ada satu perusahaan atau tanah yang sudah disertifikatkan dalam bentuk SHM atau SHGU. Dalam perjalanan, tiba-tiba muncul itu masuk kawasan hutan. Sebaliknya, ada juga yang petanya hutan, tapi petugas kita menerbitkan sertifikat,” ujar Nusron.

Meski tidak merinci jumlah pasti SHM dan SHGU yang bermasalah, serta perusahaan mana saja yang terlibat, Nusron memastikan bahwa pemerintah telah menemukan solusi untuk permasalahan ini. Kementerian ATR/BPN bersama Kementerian Kehutanan telah mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan kasus tumpang tindih lahan tersebut.

Menurut Nusron, apabila suatu lahan telah lebih dulu ditetapkan sebagai kawasan hutan sebelum sertifikat diterbitkan, maka sertifikat tersebut akan dibatalkan. Sebaliknya, jika sertifikat lebih dahulu terbit sebelum lahan tersebut dinyatakan sebagai kawasan hutan, maka status hutan dalam peta akan dihapus.

“Kalau ada hutan dulu, baru ada SHGU atau SHM, maka akan kita menangkan hutannya. Kewajiban ATR/BPN adalah membatalkan sertifikatnya. Sebaliknya, kalau ada sertifikat HGU atau hak milik lebih dulu baru tiba-tiba muncul peta hutan, maka kesepakatannya Kementerian Kehutanan wajib menghapus itu dari peta hutan,” tegas Nusron.

Kasus ini tidak hanya menyoroti permasalahan tata kelola lahan, tetapi juga menunjukkan pentingnya sinergi antarinstansi dalam memastikan kejelasan status kepemilikan lahan. Selain itu, kasus ini menambah daftar panjang konflik agraria yang kerap terjadi di Indonesia.

Masyarakat dan pemerhati lingkungan pun mempertanyakan bagaimana pengawasan dan pengelolaan lahan bisa seburuk ini hingga kasus semacam ini terus berulang. Reformasi birokrasi yang lebih ketat dan sistem pengelolaan lahan berbasis teknologi dinilai menjadi langkah penting untuk mencegah masalah serupa terjadi di masa depan. Dengan terus berkembangnya permasalahan lahan, apakah kebijakan yang diambil pemerintah benar-benar mampu menyelesaikan persoalan ini? Ataukah ini hanya akan menjadi salah satu dari sekian banyak kasus yang berakhir tanpa solusi nyata?

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *