Pendidikan Islam: Kunci Transformasi Menuju Solusi Multidimensi Berbasis Nilai Islami

Sebagai praktisi pendidikan Islam, Saya diamanahi untuk memaparkan peran dunia pendidikan Islam untuk turut memberi sumbangsih dalam mengurai problem multidimensi yang diidap dunia Islam, khususnya di tanah air, sekaligus upaya meramu solusinya dari sudut pandang yang Islami. Berikut di antara point-point yang saya utarakan dalam “Refleksi Akhir Tahun: Meneropong Masa Depan Indonesia dari Perspektif Sosial, Ekonomi, Politik, dan Budaya”, di Aula Dinas Sosial Sulawesi Selatan, Jalan AP. Pettarani No. 59 beberapa waktu lalu.

Pendidikan sejatinya tidak hanya soal belajar di ruang kelas, berkutat pada capaian angka-angka akademik di atas kertas, sekedar untuk orientasi dunia kerja, atau tujuan-tujuan pragmatis lainnya. Pendidikan juga harus punya daya ubah. Tidak hanya mengubah secara personal, tapi juga mengubah masyarakat dengan problem yang kompleks menuju kondisi ideal. Menurut sudut pandang yang Islami, yang dimaksud kondisi ideal itu tentu adalah model masyarakat Islami.

Sayangnya, alih-alih berperan sebagai subyek perubahan, kondisi pendidikan Islam khususnya di negeri mayoritas Muslim ini justru masih jauh dari harapan. Di akhir tahun ini dunia pendidikan Islam tanah air dikejutkan oleh praktik percetakan uang palsu di salah satu kampus berlabel Islam. Memang, ini perilaku oknum, tapi efeknya tentu mencoreng nama besar dunia pendidikan. Apalagi perbuatan tak terpuji ini dilakukan di gedung perpustakaan, tempat di mana seharusnya pikiran-pikiran Islami diproduksi.

Kaleidoskop pendidikan di negeri ini secara umum juga tak bisa menepis fakta rendahnya kualitas pendidikan Indonesia, baik dari sisi kemampuan literasi, hingga penguasaan dalam bidang sains dan teknologi. Sejak tahun 2000, Indonesia masih bertahan di peringkat 10 besar terbawah menurut hasil PISA (Programme for International Student Assessment).
Selain dunia pendidikan, sektor-sektor lain juga masih menyimpan segudang PR untuk segera dituntaskan, entah itu soal politik, ekonomi, sosial, budaya, kesehatan, lingkungan, dan lain-lain.
Problem multidimensi juga pernah dialami masyarakat Arab jahiliyah. Tapi uniknya, pada latar masyarakat yang mengalami kerusakan kompleks semacam itu, lima ayat pertama Al-Qur’an yang diwahyukan justru tidak menyinggung secara langsung kerusakan yang ada, tapi memberikan solusi fundamental berbasis ilmu. Bahkan kosakata pertama pada Kalam Ilahi yang agung ini adalah dalam bentuk perintah iqra’.

Ketika menafsirkan lima ayat ini, Imam Ibnu Katsir sempat menyinggung tentang ilmu. Ahli tafsir yang hidup sekitar tahun 700 hijriyah ini mengetengahkan bahwa ilmu itu selain mengendap di alam pikir, juga perlu diaktualisasikan melalui tradisi lisan dan tulisan. Dialog, diskusi, hingga debat ilmiah dapat dijadikan sebagai sarana untuk menemukan kembali solusi-solusi Islami guna mengurai benang kusut problem manusia modern.
Rasulullah SAW adalah seorang pendidik. Tapi pendidikan yang beliau contohkan memiliki daya ubah. Buktinya, masyarakat Arab yang saat itu dihadapkan pada problem yang kompleks dapat keluar sebagai peradaban baru dengan Islam sebagai landasannya.

Rasulullah SAW menempuh jalur kultural untuk melakukan perubahan. Beliau tidak melibatkan diri dan para sahabatnya dalam jalur struktural semacam parlemen Darun Nadwah yang letaknya tidak jauh dari Ka’bah untuk menyuarakan gagasan-gagasan Islam. Apalagi sekedar mengkompromikan ajaran Islam dengan unsur-unsur di luarnya. Beliau sama sekali tidak menempuh cara-cara semacam itu.

Secara umum, langkah-langkah praktis-strategis yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW sebagai ikhtiar mengubah keadaan adalah melalui tiga tahapan penting.
Pertama, beliau membina generasi awal umat ini secara intensif, berkelanjutan, memuaskan akal, dan menenteramkan jiwa. Mereka dibekali dengan pemahaman Islam yang memadai.

Kedua, Rasulullah SAW kemudian menerjunkan para sahabat binaan beliau untuk terjun ke tengah masyarakat untuk mengopinikan Islam, hingga ajaran ini dapat diterima masyarakat, tentu dengan melalui benturan pemikiran yang rumit. Beliau tak segan menyingkap kekeliruan berpikir secara fundamental yang diadopsi masyarakat Arab, sembari menjelaskan Islam sebagai solusi.

Ketiga, saat opini Islam terbangun dengan kokoh, dan telah ada di antara kekuatan-kekuatan politik yang menerima Islam saat itu seperti kalangan Aus dan Khazraj di Yatsrib (sekarang Madinah), maka Rasulullah SAW beserta para sahabat kemudian berhijrah ke sana. Di tempat itulah Islam untuk pertama kalinya mewujud nyata dalam menuntaskan berbagai problem yang ada. Dari apa yang dilakukan Rasulullah SAW, dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam adalah solusi, dan Islam yang solutif hanya mungkin dirasakan jika ia diterapkan dalam konteks kehidupan bernegera. (Mas’udi Baharuddin, S.Pd.I (Pengasuh Ponpes Awwalul Islam Makassar)

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *