| |

Badai PHK Melanda Sejumlah Startup Di Tanah Air, Fenomena Apa?

Badai pemutusan hubungan kerja atau PHK melanda sejumlah startup di tanah air. Belum lama ini, dua perusahaan rintisan atau startup yaitu PT Fintek Karya Nusantara (Finarya) atau LinkAja dan Zenius Education mengumumkan PHK terhadap ratusan karyawan. Selain dua perusahaan tersebut, terdapat pula perusahaan startup raksasa lainnya yang mengambil langkah serupa seperti Gojek, Grab, TaniHub, hingga Fabelio. Sebelum ini beberapa startup Indonesia pada akhirnya juga harus gulung tikar antara lain Airy Rooms, Stoqo, Qlapa, dan Sorabel.

Hendra Setiawan Boen, analis dan praktisi hukum restrukturisasi utang dari Kantor Frans & Setiawan mengatakan, fenomena pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi di sejumlah startup Tanah Air antara lain karena perusahaan rintisan di Indonesia tidak fokus dalam bisnis, kehabisan dana, dan tidak memiliki strategi yang baik untuk berkembang di pasar.

“Memang dana dari investor sangat berguna bila ingin ekspansi tapi tentu tidak bisa terus-terusan mengandalkan pihak luar. Startup ini harus bisa menghitung kapan perusahaan bisa mandiri, break-even point, mengembalikan dana pinjaman dari investor dan mulai meraup keuntungan,” ungkap Hendra dalam keterangan tertulis, dikutip dari Antara, Jumat 27 Mei.

Badai PHK melanda sejumlah startup di tanah air

Fenomena gelombang PHK startup di tanah air dikhawatirkan karena fenomena gelembung ekonomi pecah atau bubble burst. Bubble Burst merupakan sebuah fenomena di mana pertumbuhan ekonomi yang terjadi terlalu tinggi akan tetapi dibarengi pula dengan kejatuhan yang relatif cepat. Bubble Burst juga dapat ditandai dengan eskalasi nilai pasar yang sangat cepat terutama jika dilihat dalam pertumbuhan aset.

Biasanya, gelembung diciptakan oleh lonjakan harga aset yang didorong oleh perilaku pasar yang terlalu bersemangat. Selama gelembung, aset biasanya diperdagangkan pada harga atau dalam kisaran harga yang jauh melebihi nilai intrinsik aset. Dengan kata lain, harga tidak selaras dengan dasar aset.

Peneliti Ekonomi Indef, Nailul Huda, meminta pemerintah mengantisipasi fenomena bubble burst. Dia menerangkan model utama startup yang masih bakar uang memang membuat perusahaan rintisan ini sangat bergantung pada pendanaan dari VC atau sumber pendanaan lainnya. “Memang harus mulai memikirkan untuk keluar dari jebakan bakar duit. Kemudian juga harus pintar mencari VC yang dipercaya oleh beberapa perusahaan besar, sehingga VC lainnya tertarik untuk memberikan pendanaan lanjutan,” jelasnya.

Huda mengkhawatirkan apabila makin sedikit pendanaan, kemudian startup kian banyak dan eskponensial, bisa terjadi bubble. Ditambah lagi, nampaknya The Fed juga melakukan kebijakan pengetatan uang yang bisa berpengaruh negatif ke beberapa perusahaan startup digital di hampir seluruh dunia.

Menanggapi hal tersebut mantan Menteri Kominfo Rudiantara mengungkapkan sebenarnya yang saat ini terjadi dalam usaha rintisan baik yang menggunakan teknologi atau digital start up (DSU) maupun konvensional selalu memiliki risiko kegagalan. “Sebanyak 10% DSU gagal pada tahun pertama dan setelah tahun ke lima (5) hanya menyisakan 10% DSU yang survive,” katanya, Jumat (27/5/2022).

Dia menyebutkan, dalam usahanya orientasi investor mengalami perubahan. Apalagi adanya pandemi COVID-19 yang sebelumnya fokus kepada traction atau jumlah yang download aplikasi, pengguna dan transaksi kini berubah menjadi EBITDA atau road to profitability. “Sehingga era ‘bakar uang’ untuk mengejar traction disebut sudah lewat. Hal ini karena diarahkan oleh tekanan dari investor pada ventur capital (VC) yang harus merealisasikan keuntungan investasinya,”jelasnya.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *