Gen Z dan Milenial Mulai Ragukan Nilai Gelar Pendidikan
Sebuah survei terbaru Indeed yang dilakukan pada 27–31 Maret 2025 mengungkap pergeseran pandangan generasi muda terhadap pendidikan tinggi. Hasil survei menunjukkan hampir separuh lulusan Generasi Z (sekitar 51%) merasa gelar kuliah mereka “tidak sepadan” dan dianggap membuang waktu serta uang, sejalan dengan 41% responden milenial yang berpendapat serupa. Sebaliknya, hanya sekitar 20% dari generasi baby boomer yang menilai gelar pendidikan mereka telah kehilangan nilai. Temuan ini mengindikasikan jurang generasi dalam memandang return on investment (ROI) pendidikan tinggi.
Tingginya biaya kuliah dan beban utang disebut sebagai alasan utama di balik keraguan tersebut. Data menunjukkan biaya kuliah di Amerika Serikat melonjak sekitar 32–45% dalam dua dekade terakhir, menyebabkan lebih dari separuh lulusan (52%) harus menanggung utang pendidikan saat wisuda. Kondisi ini berimbas pada karier: 38% responden menyatakan utang mahasiswa justru lebih menghambat perkembangan karier mereka ketimbang kontribusi gelar itu sendiri. Rata-rata biaya gelar sarjana di AS kini bahkan mencapai lebih dari $38.000, dengan total utang pendidikan nasional mendekati $2 triliun.
Kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI) turut menambah keraguan akan nilai gelar. Sebanyak 45% responden Gen Z dalam survei ini percaya bahwa AI telah membuat pendidikan kuliah mereka menjadi kurang relevan di dunia kerja. AI mampu mengambil alih banyak skill dasar yang dulunya diperoleh melalui pendidikan formal, sehingga beberapa lulusan merasa apa yang mereka pelajari di bangku kuliah bisa tergantikan oleh teknologi. Sentimen ini sejalan dengan fenomena di pasar kerja: lebih dari separuh lowongan kerja di AS kini tidak lagi mensyaratkan gelar sarjana sebagai kualifikasi. Tren rekrutmen berbasis keterampilan (skills-first hiring) semakin mengemuka, di mana perusahaan lebih menekankan kompetensi dan pengalaman ketimbang ijazah formal.
Meski demikian, para ahli menekankan bahwa pendidikan tinggi tetap memiliki peran penting dalam perkembangan karier secara holistik. Christine Cruzvergara, eksekutif di platform karier Handshake, mengatakan bahwa pengalaman kuliah membantu pemuda membangun jejaring profesional, menemukan arah jalur karier, dan mengembangkan keterampilan kepemimpinan serta pemecahan masalah jangka panjang. Artinya, nilai gelar tidak semata diukur dari gaji pertama, tetapi juga dari manfaat jangka panjang seperti jaringan alumni dan soft skills kepemimpinan yang diperoleh.
Para pakar merekomendasikan generasi muda dan para pekerja untuk fokus meningkatkan keterampilan (upskilling) agar tetap relevan di era disrupsi AI. Adaptabilitas menjadi kunci: “AI tidak akan membuat pendidikan yang solid menjadi usang, namun akan memberi keuntungan bagi mereka yang terus meng-upgrade keterampilannya,” ujar Kyle M.K., pakar karier Indeed, menggarisbawahi pentingnya pembelajaran berkelanjutan. Bagi pelaku wirausaha dan UMKM, temuan ini menjadi pengingat bahwa investasi pada pengembangan keterampilan tim sangat krusial. Pekerja maupun pengusaha yang proaktif mengasah kemampuan dan mengadopsi teknologi baru seperti AI akan lebih mampu bertahan dan sukses di tengah perubahan pasar kerja.
Sumber:
Survei Indeed–Harris Poll (27–31 Maret 2025) dan laporan terkaitindeed.com