|

Koperasi: Warisan Bung Hatta yang Dirindukan, Bukan Sekadar Dikumandangkan

Bung Hatta bukan hanya dikenal sebagai Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, tetapi juga sebagai arsitek utama ekonomi kerakyatan bangsa ini. Jejak gagasannya tak hanya tertulis dalam buku-buku, tetapi terpatri dalam konstitusi kita — Pasal 33 dan 34 UUD 1945 — yang menegaskan bahwa perekonomian diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.

Dalam benak Bung Hatta, Indonesia yang merdeka adalah Indonesia yang berdaulat secara ekonomi, terbebas dari eksploitasi kolonial, dan mampu membangun kemakmuran melalui sistem ekonomi yang adil: gotong royong, distribusi yang merata, dan partisipasi aktif rakyat.

Di sanalah koperasi ditempatkan sebagai tulang punggung ekonomi rakyat.
Bukan sekadar bentuk kelembagaan, tapi sebuah gerakan sosial. Bung Hatta tidak melihat koperasi sebagai alat birokrasi atau proyek pembangunan, melainkan sebagai institusi perlawanan struktural terhadap ketimpangan dan kemiskinan.

Namun, menjelang satu abad usia kemerdekaan, cita-cita itu terasa semakin menjauh.


Realitas Ketimpangan di Negeri Gotong Royong

Hari ini, Indonesia justru menyaksikan menguatnya cengkeraman oligarki ekonomi. Data yang diungkap Winters (2021) menunjukkan bahwa pada 2010, kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia setara dengan 570.988 kali kekayaan rata-rata warga biasa. Jumlah ini melonjak hingga 759.420 kali lipat pada 2020 — sebuah pertumbuhan yang mencerminkan jurang sosial yang makin dalam.

Laporan TNP2K pada 2019 menguatkan temuan ini: 1% populasi terkaya menguasai setengah dari seluruh aset nasional.
Credit Suisse mencatat bahwa pada 2022, pertumbuhan kekayaan per individu di Indonesia bahkan melampaui pertumbuhan PDB per kapita. Ironisnya, menurut LPS, simpanan masyarakat dengan saldo di atas Rp5 miliar tumbuh hampir 14%, sementara simpanan rakyat kecil justru menurun. Pada September 2024, Gini Ratio kembali naik menjadi 0,381 — sinyal ketimpangan yang kian menganga.


Koperasi: Simbol atau Solusi?

Di tengah kegamangan ini, pemerintah meluncurkan program ambisius: 80.000 Koperasi Desa Merah Putih.
Namun, langkah ini menimbulkan tanya yang tak bisa diabaikan:
Apakah koperasi-koperasi ini akan menjadi solusi nyata atas ketimpangan?
Atau justru hanya menjadi simbol kosong, program seragam yang mengabaikan konteks sosial dan budaya lokal?

Koperasi sejatinya bukan produk dari instruksi.
Ia lahir dari kebutuhan warga, tumbuh melalui partisipasi, dan bergerak lewat kesadaran bersama. Pendekatan top-down yang memaksakan pembentukan koperasi tanpa ekosistem yang matang berisiko membentuk lembaga yang hidup hanya di atas kertas—koperasi tanpa ruh.


Kembali ke Falsafah Bung Hatta

Hari ini, tepat di Hari Koperasi Nasional, kita diajak merenung lebih dalam:
Apakah koperasi masih relevan sebagai jawaban atas ketimpangan dan kemiskinan?
Ataukah ia kini justru dikorbankan di altar kekuasaan dan proyek politik?

Jika kita ingin menunaikan amanat Bung Hatta, maka koperasi harus dikembalikan ke akarnya:
Gerakan rakyat yang bertumpu pada keadilan, gotong royong, dan kemandirian.

Koperasi tidak bisa dibangun dengan semangat proyek. Ia harus dijalankan dengan kesadaran kolektif, diberi ruang untuk tumbuh, dan disokong oleh ekosistem yang menjunjung kejujuran, partisipasi, dan prinsip keberlanjutan.


Penutup: Menghidupkan Kembali Api Perubahan

Berdiri di depan Museum Bung Hatta, saya tertegun membayangkan betapa besar warisan pemikiran yang ditinggalkan sang Bapak Koperasi Indonesia. Bukan hanya warisan ideologis, tetapi amanah moral: bahwa kemerdekaan sejati tidak cukup dengan politik, tetapi harus ditopang oleh kedaulatan ekonomi.

Selamat Hari Koperasi Nasional, 12 Juli 2025.

Mari hidupkan kembali semangat koperasi sebagai gerakan perubahan.
Bukan instruksi dari atas. Tapi getaran hati dari bawah. (Bahrul ulum Ilham)


Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *