Menyoal Usulan UMKM dan PT Bisa Kelola Tambang
Pemerintah Indonesia saat ini sedang merancang revisi terhadap Undang-Undang (UU) No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).Setelah organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, kini perguruan tinggi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) berpeluang mengelola izin pertambangan yang telah disepakati Badan Legislasi (Baleg) DPR RI sebagai usulan inisiatif DPR dalam Rapat Pleno Baleg pada Senin (20/1).
Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan, menegaskan revisi UU Minerba bertujuan memperluas partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya mineral. “Kesejahteraan rakyat tidak hanya di dalam areal pertambangan. Banyak masyarakat yang selama ini hanya terkena dampak negatif seperti debu batubara. Kita ingin beri peluang mereka terlibat langsung dalam usaha tambang,” ujarnya. Selain perguruan tinggi dan UKM, draf RUU ini juga mengatur pemberian izin usaha pertambangan (IUP) untuk ormas keagamaan.
Wakil Ketua Baleg DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, menjelaskan alasan perguruan tinggi dilibatkan. “Mereka memiliki peran strategis dalam pengembangan SDM dan riset, yang membutuhkan biaya tinggi. Dengan hak kelola tambang, kampus bisa memiliki sumber pendanaan mandiri untuk mendukung kegiatan akademik dan inovasi,” paparnya. Adapun kriteria perguruan tinggi yang berhak mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) adalah yang memiliki akreditasi minimal B.
Respons positif datang dari Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi). Ketua Umum Aptisi, Budi Djatmiko, menyatakan usulan ini telah lama diharapkan sejak era Presiden Joko Widodo. “Pengelolaan tambang oleh kampus akan membuat pengabdian masyarakat lebih terjangkau dan transparan. Mahasiswa bisa terlibat langsung, berbeda dengan praktik korporasi yang sering tertutup,” ujarnya pada Selasa (22/1).
Meski demikian, kebijakan ini tidak lepas dari kritik. Pakar ekonomi energi UGM, Fahmy Radhi, mengingatkan agar DPR membatalkan rencana pemberian konsesi tambang ke perguruan tinggi. “Ini berisiko menimbulkan polemik baru, seperti konflik kepentingan atau penyalahgunaan wewenang. Kampus seharusnya fokus pada pendidikan, bukan mengelola bisnis tambang,” tegasnya.
Langkah ini bertujuan memperluas akses, tetapi menuai kekhawatiran dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) terkait risiko oversupply, penurunan harga nikel, serta kesiapan pihak-pihak baru dalam mengelola tambang. Indonesia menguasai 63% produksi nikel dunia, tetapi menghadapi tantangan dalam menjaga kualitas produksi dan harga yang kompetitif. APNI menilai kebijakan ini dapat merugikan industri jika tidak diatur dengan matang, meskipun pendukungnya melihat potensi inklusivitas dan inovasi. Pemerintah diimbau mempertimbangkan kebijakan ini dengan cermat demi keberlanjutan industri tambang.