| | |

Trend Thrifting, Pemerintah Larang Impor Baju Bekas

Istilah thrifting saat ini menjadi tren  dan makin digemari oleh anak muda. Kegiatan  belanja baju bekas yang biasa disebut thrifting ini menjadi kegemaran anak muda karena keunikannya, membuat tampil beda hingga seolah membawa ke era tahun 1990-an. Minat warga Indonesia membeli pakaian bekas layak pakai ditandai maraknya para penjual thrift atau pakaian bekas,baik di pusat perbelanjaan, lainnya berjualan secara online di e-commerce atau media sosial. Di Indonesia, mengacu pada Survei Goodstats mengenai preferensi gaya fesyen anak muda pada 5-16 Agustus 2022 lalu, dengan melibatkan 261 responden, mayoritas responden atau sekitar 49,4% mengaku pernah membeli fesyen bekas dari hasil thrifting.

Thrifting culture berkembang dari masa ke masa dengan sejarah yang beragam dari berbagai sumber. Menurut Thirft World (2020) produksi masal dan banyaknya pakaian lama yang terbuang menjadi penyebab terbentuknya ide thrifting. Pada 1897 Umat Kristiani Amerika mengumpulkan dan menjual kembali barang bekas untuk disumbangkan, kegiatan ini menjadi titik munculnya ide thifting.

Dilansir dari dari berbagai sumber, Senin (13/2/2023) kegiatan thrifting ini dimulai sekitar tahun 1.300-an, pada abad pertengahan. Pada saat itu, pakaian bekas ditumpuk dan dijual di alun-alun pasar. Ketika masyarakat mulai memodernisasi, perdagangan barang bekas dimulai sebagai sistem barter, melayani masyarakat berpenghasilan rendah.

Thrifting berkembang pada pertengahan 1800-an hingga awal 1900-an dengan berdirinya organisasi seperti Salvation Army dan Goodwill. Penjualan barang bekas pada awalnya merupakan aktivitas penggalangan dana dengan cara menampung sumbangan dari para donatur berupa barang bekas untuk dijual. Hasil penjualan itu kemudian disumbangkan kepada para tuna netra.

Pada tahun 1897 barulah Salvation Army mulai membuka toko barang bekas. Setelah tujuh tahun kemudian, Goodwill juga membuka toko barang bekas karena terjadi kemiskinan di Amerika, banyak masyarakat yang tidak bisa memiliki pakaian baru. Toko tersebut meraih kesusksesan hingga memiliki armada 1.000 truk pada tahun 1920-an. Sejak itulah organisasi yang bergerak di bidang amal mulai melakukan kegiatan tersebut untuk menggalang dana, bahkan mereka akan dengan senang hati mendatangi rumah donatur untuk mengambil barang bekas.

Pemerintah Larang Impor Baju Bekas

Presiden Joko Widodo atau Jokowi melarang bisnis baju bekas impor atau thrifthing karena dianggap mengganggu industri tekstil dalam negeri. Hal ini merugikan para pengusaha tekstil dalam negeri dan mengakibatkan kerugian negara hingga miliaran rupiah dan menurunkan tingkat ekspor. “Jadi yang namanya impor pakaian bekas, setop. Mengganggu, sangat mengganggu industri dalam negeri kita,” kata Jokowi di Istora Senayan, Jakarta, Rabu (15/3). Karenanya saat ini sejumlah pihak berwajib seperti Kepolisian, Bea dan Cukai, hingga Kementerian Perdagangan tengah berusaha menegakkan larangan impor baju bekas.

Deputi Bidang UKM Kementerian Koperasi dan UKM, Hanung Harimba menyebut bahwa importir pakaian bekas akan terancam sanksi pidana maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar. Sanksi tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan.

Dalam Pasal 47 disebutkan bahwa setiap importir wajib mengimpor barang dalam keadaan yang baru. Impor barang bekas hanya bisa dilakukan dalam kondisi tertentu yang telah ditetapkan oleh menteri. Terkait dengan sanksi sendiri sudah diatur dalam Pasal 111 Undang-Undang tersebut.

“Setiap importir yang mengimpor barang dalam keadaan tidak baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah),” bunyi Pasal 111 UU 7/2014.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eisha M Rachbini mengatakan, pemerintah harus memikirkan bila akan menindak tegas para pedagang pakaian impor bekas atau bisnis thrifting yang telah memiliki lapak di sejumlah tempat.

Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) Suroto menanggapi kebijakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang melarang bisnis pakaian bekas impor atau thrifting. Bisnis tersebut dianggap mengganggu industri tekstil dalam negeri yang merugikan para pengusaha dalam negeri.

Suroto menilai pelarangan tersebut sifatnya reaktif. “Dilakukan setelah industri tekstil kita mati dan itu dilakukan karena sudah menggerus pasar para importir pakaian yang legal yang selama ini juga sudah monopolistik juga,” ujar dia lewat keterangan tertulis pada Sabtu, 18 Maret 2023. Jika pemerintah memang serius, Suroto berujar, langkah kebijakan penegasan pelarangan seharusnya juga diimbangi dengan mendorong industri kain rakyat, terutama tenun tradisional. Karena, pelarangan thrifting hanya akan meningkatkan banjirnya kain dari Cina yang sudah meningkat tajam dalam dekade terakhir.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *