May Day : Syariah Islam Sejahterakan Buruh
May Day mulai menjadi hari yang dikaitkan dengan perjuangan hak-hak pekerja pada akhir abad ke-19. Pada 1886, empat orang ditembak mati oleh polisi Chicago saat mereka sedang melakukan protes menuntut pemberlakuan delapan jam kerja. Tiga tahun kemudian sebuah kelompok di Paris memutuskan May Day menjadi hari spesial untuk mengenang empat orang yang ditembak itu. Di Indonesia sendiri, penetapan 1 Mei sebagai hari libur nasional diatur dalam Peraturan Presiden yang ditandatangani SBY presiden SBY pada tahun 2013.
Merujuk pada sejarahnya, kemunculan May Day diakibatkan rendahnya kesejahteraan serta kehidupan kaum buruh yang tidak layak di negara yang mengadopsi sistem kapitalisme. Dan tuntutan kesejahteraan dan kehidupan layak termasuk di dalamnya berkaitan upah yang layak, jaminan sosial seperti jaminan kesehatan dan pensiun, ini selalu berulang setiap tahunnya di berbagai negara, termasuk Indonesia hingga kini.
Buruh Juga Manusia
Tak ada manusia yang ingin hidup susah, begitupun kaum buruh. Mereka juga manusia yang layak diperlakukan secara manusiawi sebagaimana manusia lainnya. Sistem kapitalisme yang mencengkeram negeri ini telah menjadikan buruh bagai ‘sapi perahan’. Dalam sistem ini, upah buruh ditekan seminim mungkin agar dapat menarik minat investor yang akan menanamkan modalnya. Sistem ini juga mendzolimi buruh dengan doktrinnya tentang peran negara, kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan standar penentuan upah.
Kapitalisme membatasi peran dan campur tangan negara dalam mengatur urusan masyarakat seminimal mungkin. Sistem ini mengajarkan bahwa pemenuhan kebutuhan pokok individu masyarakat baik pangan, papan dan sandang menjadi tanggungjawab individu itu sendiri. Begitu pula pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Sementara problem yang langsung terkait dengan buruh muncul akibat digunakannya kebutuhan hidup minimum sebagai standar penetapan gaji. Pekerja tidak mendapatkan gaji mereka yang seharusnya. Mereka hanya mendapatkan sesuatu yang cukup sekedar untuk mempertahankan hidup. Karena itu, terjadilah ketidakadilan dan eksploitasi para kapitalis terhadap kaum buruh.
Penindasan yang dirasakan kaum buruh telah memunculkan rasa senasib sepenanggungan. Merekapun membentuk satu serikat pekerja untuk menyuarakan kepentingannya.
Syariat Islam Sejahterakan Buruh
Masalah perburuhan yang ada sebenarnya bisa dikategorikan menjadi dua jenis: pertama, masalah yang berkaitan dengan kesejahteraan dan kehidupan yang layak, antara lain terkait pemenuhan kebutuhan pokok, jaminan kesehatan, akses pendidikan, jaminan hari tua, masalah pekerja anak-anak dan wanita, dsb. Kedua, masalah yang langsung berhubungan dengan kontrak kerja pengusaha-pekerja, diantaranya masalah PHK, penyelesaian sengketa perburuhan, dan sebagainya
Islam memberikan solusi untuk semua problem perburuhan itu. Problem jenis pertama, lebih dipengaruhi oleh kebijakan sistem dan politik ekonomi. Dan itu tentu saja adalah ranahnya negara. Karena itu masalah jenis pertama, Islam membebankan penyelesaiannya langsung kepada negara.
Islam mewajibkan negara menjamin pemenuhan kebutuhan pokok individu (pangan, papan, sandang) secara layak; dan pemenuhan kebutuhan pokok umat (pendidikan, kesehatan, keamanan). Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok individu (pangan, papan, sandang) oleh negara melalui mekanisme tak langsung dengan sejumlah langkah :
Pertama, mewajibkan setiap laki-laki bekerja untuk memenuhi kebutuhan dia dan keluarganya. Untuk itu Islam mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan kerja. Negara bisa secara langsung membuat proyek-proyek pembangunan yang bisa menyerap tenaga kerja. Dengan penerapan hukum syariah terkait pengelolaan kekayaan -diantaranya hukum tentang harta milik umum- maka negara akan memiliki dana yang lebih dari cukup untuk melakukan hal ini.
Disamping itu, lapangan kerja akan terbuka luas jika kesempatan berusaha juga terbuka dan kondusif. Disinilah negara harus menjamin berlakunya hukum-hukum syariah terkait dengan ekonomi yang akan memberikan iklim usaha yang kondusif. Contohnya, Islam mengharuskan birokrasi yang menggunakan prinsip sederhana, mudah dan tidak berbelit. Negara juga harus memastikan berjalannya mekanisme pasar syariah yang sehat terkait dengan barang dan jasa, tanah, perdagangan dan tenaga kerja.
Kedua, jika masih ada orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya maka Islam mewajibkan kepada kerabatnya, mulai yang terdekat, untuk menanggung nafkahnya. Ketiga, jika tidak ada kerabat yang bisa menanggung nafkah atau ada tetapi tidak mampu, maka nafkah orang tersebut akan menjadi kewajiban baitul mal negara.
Sementara untuk kebutuhan pokok umat (kesehatan, pendidikan, keamanan) maka pemenuhannya menjadi kewajiban negara secara langsung. Negara wajib menyediakan layanan kesehatan, pendidikan dan keamanan yang berkualitas dan layak secara gratis untuk seluruh rakyatnya.
Dengan demikian, jaminan kesehatan, tunjangan pendidikan termasuk jaminan hari tua bagi rakyat termasuk buruh, sudah dipenuhi negara sehingga tak lagi membebani pengusaha.
Sedangkan mengenai serikat pekerja, Syari’at tak melarang keberadaannya,. Meski demikian organisasi ini tidak perlu lagi sibuk mengurusi kesejahteraan buruh karena apa yang menjadi hajatnya sudah dipenuhi oleh negara.
Hubungan Buruh-Pengusaha dalam Islam
Problem perburuhan jenis kedua berkaitan dengan hubungan buruh – majikan (pengusaha), maka Syari’at Islam menyelesaikannya dengan memberikan ketentuan hukum ijarah al-ajîr (kontrak kerja). Dalam akad kontrak kerja itu harus jelas jenis dan bentuk pekerjaan, batasan kerja dan curahan tenaga yang bisa ditentukan menggunakan batasan jam kerja sehari, dsb. Disamping juga harus jelas jangka waktu ijarah.
Kontrak kerja ini juga harus menjelaskan besaran upahnya. Negara tidak boleh mematok tingkat upah minimum sebab hal itu adalah haram. Besaran upah itu ditentukan berpatokan pada nilai manfaat yang diberikan oleh pekerja, bukan berpatokan pada kebutuhan hidup minimum seperti dalam kapitalisme. Jika terjadi perselisihan tentang besaran upah antara pekerja dan majikan maka pakar (khubara’) lah yang menentukan besaran upah yang sepadan (ajrul mitsli). Pakar ini dipilih oleh kedua pihak. Jika keduanya tidak sepakat dalam hal menentukan pakar ini, maka negara (qadhi) lah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka.Selanjutnya negara (qadhi) yang akan memaksa kedua pihak untuk mengikuti keputusan pakar itu.
Islam menetapkan bahwa akad ijarah termasuk akad yang mengikat (lâzim) yaitu hanya bisa dibatalkan atas dasar persetujuan dan kerelaan kedua pihak. Akad ijarah bukanlah akad yang secara syar’i bisa dibatalkan secara sepihak baik oleh majikan (pengusaha) ataupun pekerja (buruh). Karena itu, dalam majikan tidak boleh memutuskan akad ijarah secara sepihak atau melakukan PHK. Jika itu terjadi maka pekerja menuntut haknya melalui pengadilan. Begitu pula, pekerja tidak boleh mangkir dari menunaikan pekerjaannya. Jika mangkir, qadhi akan memaksa pekerja itu untuk memenuhi kewajibannya.
Dengan Syari’at Islam, buruh akan mendapat kedudukan yang lebih manusiawi. Pengusaha tak bisa semena-mena terhadap buruh. Buruh pun akan bekerja dengan tenang tanpa perlu melakukan aksi mogok besar-besaran, serta berusaha memberi yang terbaik bagi perusahaan. Dan harmonisasi hubungan buruh- penguasa ini hanya akan terjadi di negara Khilafah sebagai pelaksana Islam kaffah.