Du Anyam, Produk Mendunia Dari Para Ibu Penganyam Di Flores
Awal mula lahirnya Du Anyam dimulai pada tahun 2013, saat ketiga foundernya, Hanna Keraf, Azalea Ayuningtyas, dan Melia Winata berkunjung ke Larantuka. Ketiganya melihati kesenjangan dan potensi yang dimiliki orang masyarakat setempat. Ketiga perempuan-perempuan hebat inilah di balik PT Karya Dua Anyam untuk bisa membangun sebuah usaha bersama para mama-mama yang ada untuk bisa bergabung dan memperoleh penghasilan dengan potensi yang dimiliki, yaitu menganyam.
“Du Anyam” berasal dari 2 kata yang memiliki makna, yaitu ‘Dua’ yang berasal dari bahasa lokal daerah Flores, berarti Ibu dan ‘Anyam’ merepresentasikan anyaman, sehingga jika disatukan maknanya adalah Anyaman Ibu-Ibu. Hal tersebut kemudian sejalan dengan tujuan Du Anyam yaitu menghubungkan kearifan dan sumber daya lokal dengan pasar, memberdayakan perempuan dengan memberikan keamanan ekonomi, dan menyediakan saran untuk membawa dampak sosial lanjutan.
Tujuan tersebut merupakan wujud solusi yang dilakukan oleh Du Anyam untuk bisa membantu kelangsungan hidup para Ibu penganyam dan anak-anak yang ada di daerah tersebut. Salah satu fenomena yang membuat Du Anyam terus berjalan adalah untuk mengurangi dan mengatasi salah satu fenomena stunting dan memberikan penghasilan agar para masyarakat yang ada di daerah Flores dapat hidup sejahtera.
Kegiatan social enterpreneurship Du Anyam ini memiliki tiga pilar yang menjadi kekuatan dalam kegiatannya, yakni, pemberdayaan perempuan, peningkatan taraf hidup dan mempromosikan budaya anyaman dengan serat alami Indonesia. Karena aksi ini, Du Anyam mendapatkan Kehati Award 2020, untuk kategori Inovasi Kehati. Du Anyam, satu dari enam penerima Kehati Award 2020 ini. Kini, Du Anyam, telah melatih hampir 1.400 penganyam di 54 desa di tiga provinsi yakni Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan dan Papua. Sekitar 800-1.000 perajin aktif kembali pada tradisi dan jadi pendapatan sampingan. Pemasukan utama warga kebanyakan dari pertanian.
Dari sisi keberlanjutan, masyarakat diajarkan tetap menerapkan sistem panen lestari. Artinya, panen hanya periode tertentu untuk memastikan pohon atau tumbuhan tetap tumbuh berkelanjutan. Semua pakai serat alami. Contoh di NTT ada daun lontar dan gebang, di Papua pakai kayu, dan di Hulu Sungai Utara dengan purun.