Alokasi Rp1,7 Triliun, Swedia Kembalikan Sistem Komputer Ke Buku Cetak
Lima belas tahun setelah menjadi pelopor global dalam mengganti buku teks dengan komputer di sekolah, Swedia justru mengumumkan investasi senilai 104 juta euro (sekitar Rp1,7 triliun) untuk mengembalikan buku cetak ke ruang kelas. Keputusan ini menjadi sorotan dunia pendidikan, sekaligus pengakuan mengejutkan bahwa digitalisasi berlebihan justru merugikan kualitas belajar siswa.
Latar Belakang: Ambisi Digitalisasi 2009
Pada 2009, Swedia meluncurkan reformasi pendidikan radikal dengan mengganti hampir seluruh materi pembelajaran berbasis kertas dengan laptop, tablet, dan platform digital. Kebijakan ini dianggap sebagai lompatan ke masa depan, sejalan dengan reputasi negara tersebut sebagai “raksasa teknologi” Eropa. Pemerintah saat itu berargumen bahwa langkah ini akan mempersiapkan generasi muda untuk dunia kerja yang semakin digital, sekaligus mengurangi beban fisik buku.
Namun, antusiasme awal berubah menjadi keprihatinan. Studi selama satu dekade terakhir menunjukkan penurunan signifikan dalam kemampuan literasi dasar siswa. Laporan OECD tahun 2021 menyebutkan, kemampuan membaca anak-anak Swedia usia 10 tahun turun ke peringkat terendah dalam 30 tahun terakhir. Hasil tes PISA (Programme for International Student Assessment) juga menunjukkan penurunan di bidang matematika dan sains.
Dampak Tak Terduga: Konsentrasi Menurun dan Ketimpangan Sosial
Para guru dan orang tua mulai melaporkan masalah baru: siswa kesulitan fokus pada layar dalam waktu lama, mengalami gangguan tidur akibat paparan cahaya biru, serta ketergantungan berlebihan pada alat bantu digital. “Mereka kehilangan kemampuan untuk menganalisis teks panjang. Bahkan esai sederhana pun ditulis dengan gaya pesan singkat,” keluh Anna Lundström, guru di Stockholm.
Tak hanya itu, kebijakan digitalisasi juga memperlebar kesenjangan sosial. Siswa dari keluarga kurang mampu sering kali hanya mengandalkan satu perangkat untuk seluruh keluarga, sementara anak-anak dari daerah terpencil menghadapi masalah konektivitas internet.
Belajar dari Kesalahan: Buku Kembali, Tapi Tidak Menolak Teknologi
Menyadari kekeliruan tersebut, pemerintah Swedia kini mengambil langkah strategis. Dana sebesar 104 juta euro akan dialokasikan untuk:
- Membeli buku teks cetak baru untuk semua jenjang pendidikan.
- Pelatihan guru dalam metode pembelajaran campuran (blended learning).
- Penelitian dampak penggunaan layar pada perkembangan kognitif anak.
- Subsidi bagi sekolah untuk membatasi penggunaan gawai maksimal 3 jam sehari.
Menteri Pendidikan Swedia, Lotta Edholm, menegaskan bahwa langkah ini bukan penolakan terhadap teknologi. “Kami ingin menciptakan keseimbangan. Buku melatih konsentrasi dan pemahaman mendalam, sementara teknologi tetap digunakan untuk proyek kreatif dan kolaboratif,” ujarnya dalam konferensi pers.
Respons Global: Pelajaran bagi Negara Lain
Kebijakan Swedia ini memicu debat internasional. Pakar pendidikan Finlandia, Dr. Elina Pekkarinen, menyebutnya sebagai “koreksi berani” yang patut dicontoh. Sementara itu, di AS dan Inggris, para kritikus kebijakan “paperless school” mulai mengutip kasus Swedia sebagai peringatan.
Namun, tidak semua pihak setuju. Beberapa ahli teknologi berpendapat bahwa masalahnya bukan pada alat, tetapi cara penggunaannya. “Daripada kembali ke buku, lebih baik perbaiki kurikulum digital agar lebih interaktif,” kata Prof. Lars Björk, pakar edtech dari Universitas Gothenburg.
Apa Selanjutnya?
Swedia berencana menerapkan reformasi ini secara bertahap mulai tahun ajaran 2025. Pemantauan ketat akan dilakukan untuk mengevaluasi dampaknya terhadap prestasi siswa. Jika berhasil, langkah ini mungkin menjadi preseden bagi negara lain yang terjebak dalam euforia digitalisasi tanpa pertimbangan matang.
Seperti kata pepatah Swedia, “Det är ingen ko på isen” (tidak ada bahaya yang mengancam), negara ini membuktikan bahwa mengakui kesalahan bukanlah kelemahan, melainkan langkah awal untuk bangkit lebih kuat. (sumber : https://indiandefencereview.com/)